MENANTI DESEMBER
Oleh: Oleh : Rezky Yulia Ekaputri
Oleh: Oleh : Rezky Yulia Ekaputri
Puisi itu kembali terlantun dari bibir
mungil Vera. Sudah hampir 3 tahun Vera melantunkannya sambil duduk di dekat
jendela kamarnya dan menatap rembulan yang tiada henti menyinari malamnya. Itu
seolah telah menjadi kegiatan rutinnya sebelum tidur.
“Vera… kamu belum tidur
nak…?” tegur Mama Vera yang tiba-tiba saja telah berdiri di belakangnya.
“Belum Ma…” jawab Vera singkat.
“Trus, ngapain kamu duduk di situ…? Nanti kamu masuk angin.”
“Aku cuma liat bulan kok Ma. Liat dech, bulannya cantik banget…! Kayak Mama. Rasanya, aku ingin terus melihat bulan itu. Selamanya…” Ujar Vera sambil tersenyum dan memeluk Mamanya. Mama Vera pun membalasnya dengan pelukan yang hangat. Dan tanpa dia sadari, dia meneteskan air mata.
“Ma, Mama kok nangis…?” Tanya Vera saat air mata Mamanya menetes tepat di jemari tangannya.
“Nggak apa-apa sayang. Sekarang kamu tidur yah…!” ujar Mamanya sambil menyeka air matanya dan menuntun Vera ke pembaringannya.
“Belum Ma…” jawab Vera singkat.
“Trus, ngapain kamu duduk di situ…? Nanti kamu masuk angin.”
“Aku cuma liat bulan kok Ma. Liat dech, bulannya cantik banget…! Kayak Mama. Rasanya, aku ingin terus melihat bulan itu. Selamanya…” Ujar Vera sambil tersenyum dan memeluk Mamanya. Mama Vera pun membalasnya dengan pelukan yang hangat. Dan tanpa dia sadari, dia meneteskan air mata.
“Ma, Mama kok nangis…?” Tanya Vera saat air mata Mamanya menetes tepat di jemari tangannya.
“Nggak apa-apa sayang. Sekarang kamu tidur yah…!” ujar Mamanya sambil menyeka air matanya dan menuntun Vera ke pembaringannya.
“Selamat malam Ma.” Ujar Vera sambil
tersenyum.
“Selamat malam sayang…” balas Mama Vera
sambil mencium kening putri semata wayangnya.
Keesokan harinya, Vera kembali
beraktivitas seperti biasanya. Bangun pagi-pagi, shalat, mandi, berpakaian
rapi, sarapan, kemudian ke sekolah.
“Ma, aku berangkat dulu yach…” pamit Vera.
“Iya nak. Hati-hati di jalan.”
“Ok Ma… Assalamu alai’kum…”
“Wa’alaikum salam.”
Sesampainya di sekolah, Vera disambut
dengan happy oleh sahabat-sahabatnya.
“Pagi guys…” sapa Vera.
“Pagi nona Vera…” balas sahabat-sahabatnya
serempak.
“Happy banget
non… sampe senyum-senyum sendiri… baru dapat lotre yah…?” canda Citra.
“Hehehe… nggak kok. Pagi hari itu harus
disambut dengan senyuman. Agar hari yang kita lalui terus dipenuhi oleh senyum
dan kebahagian. Juga dapat menghapus segala luka dan duka yang terselip
di dalam hati. Sehingga kecerian kembali meliputi perasaan kita. Dan, nggak ada
gunanya juga terus bernestapa meratapi kesedihan yang berlalu… maka, tetaplah
kau tersenyum agar semua dukamu berangsur hilang dan berganti menjadi
kecerian.” ujar Vera sambil tersenyum manis yang membuatnya kelihatan lebih
cantik.
“Iyah Bu guru…” balas Citra.
“Yayayaa…beginilah susahnya berbicara
dengan sang pujangga. Setia ucapan kita pasti dibalas dangan kata-kata yang
puitis.” Timpal Karin.
“Hehehee… kalian ada-ada aja.”
Tak berapa lama mereka mengobrol, bel pun
berbunyi. Mereka segera duduk di bangku masing-masing sambil menunggu guru mata
pelajaran pertama hari itu.
“Selamat pagi anak-anak.” sapa Pak Syarif
guru bahasa Indonesia sekaligus wali kelas mereka yang baru saja tiba di kelas.
“Pagi Pak……” jawab anak-anak dengan
serempak.
“Baiklah, sebelum kita memulai pelajaran
hari ini, saya akan memberitahukan sebuah informasi mengenai ulangan semester
genap.” Ujar Pak Syarif. “Kemungkinan, ulangan akan dilaksanakan pada
pertengahan bulan Desember nanti kira-kira tanggal 12-17. Jadi, saya harap
kalian bisa belajar dengan sungguh-sungguh dan saya tidak mau ada siswa atau
siswi dari kelas ini yang tinggal kelas. Kalian mengerti…?!” tegas Pak Syarif.
“Mengerti Pak…”
“Desember…” desis Vera lirih.
“Kenapa Ver…? Kok kamu kelihatan tegang
gitu…? Biasanya kamu yang paling semangat kalau mau ulangan…?” Tanya Karin.
“Nggak kok. Oiaya, kita harus ngebentuk
kelompok belajar bersama agar kegiatan belajar kita bisa efektif dan nggak cuma
di sekolah.” Jawab Vera sambil berusaha tersenyum.
“Aku setuju…” ujar Citra diikuti anggukan
setuju pula dari Karin.
“Tapi, nggak seru kalau cuma kita bertiga.
Gimana kalau kita ajak Nia dan Dhea…?” usul Karin.
“Terserah kalian aja dech…” ujar Vera.
Mereka kemudian mengikuti pelajaran hari
itu dengan serius. Dan sepulang sekolah, Vera, Citra, dan Karin mengutarakan
niat mereka untuk mengajak Nia dan Dhea bergabung dalam kelompok belajar
mereka. Dan ajakan tersebut disambut dengan riang oleh mereka.
“Ver…kita belajarnya di rumah kamu aja
yah. Rumah kamu kan luas, jadi pasti bisa nampung kita.” Usul Nia.
“Iya. Lagipula, di rumah juga nggak ada
siapa-siapa kok. Cuma ada aku dan Mama. Siapa tahu, dengan kehadiran kalian,
rumahku bisa jadi rame. Yah, ibarat kata hadirnya dirimu kan berikan
suasana baru dalam hariku” Jawab Vera sambil tersenyum.
“Ok. Sekarang kita tinggal ngatur
jadwalnya aja.” Kata Dhea.
“Aku nggak bisa hari senin dan rabu.
Soalnya ada kursus bahasa inggris.” Ujar Citra.
“Aku juga nggak bisa kalau hari rabu. Aku
kan lagi kursus Matematika.” Timpal Karin.
“Kalau aku sich belakangan ini, lagi nggak
ada kegiatan. So, hari apa aja bisa.” Nia ikut angkat bicara.
“Kalau kamu Dhe…?” Tanya Vera sambil melihat
ke arah Dhea.
“Aku sama kok kayak Nia. Kapan aja bisa.”
“Mmmh…berhubung hari jum’at aku kursus
bahasa inggris dan setiap senin aku ngajar anak-anak ngaji, jadi jadwal bisa
hari selasa, kamis, dan sabtu. Gimana…?” Vera memberi usul.
“Ok dech…” jawab yang lainnya serempak.
Setelah selesai mengatur jadwal yang
ditetapkan, mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing. Kebetulan hari itu,
Vera nggak bawa motor, jadi dia nebeng sama Karin.
“Vera… kamu kenapa nak…? Kamu kelihatan
pucat.” Tegur Mamanya ketika Vera baru pulang dan berjalan menuju kamar sambil
memegang kepalanya.
“Nggak apa-apa kok Ma. Aku Cuma sedikit
pusing. Mungkin karena cuaca yang sangat panas.” Jawab Vera sambil berusaha
tersenyum karena, dia tak ingin membuat Mamanya merasa cemas.
“Kamu sudah makan obat…?”
“Udah tadi di sekolah. Mama nggak usah
khawatir yah. Aku baik-baik aja kok. Aku cuma kurang istirahat. Di sekolah juga
lagi banyak tugas.”
“Ya sudah. Sekarang kamu makan yah nak.!
Setelah itu kamu tidur. Biar perasaan kamu bisa lebih enakan.”
“Iyah Ma.”
Vera kemudian mengganti seragam sekolahnya
kemudian makan siang bareng Mamanya. Selepas makan, Vera lalu memberitahu
Mamanya tentang kelompok belajar yang baru dia bentuk. Dan Mamanya pun
setuju dengan keinginan Vera yang mengajak temannya belajar di rumah
mereka.
***
Ujian semester kurang lebih 1 minggu lagi. Vera dan kawan-kawannya sudah siap
dengan matang untuk menghadapi ujian nanti. Namun, teman-teman Vera merasa
heran karena sudah satu minggu lebih Vera tidak masuk sekolah. Menurut surat
yang disampaikan kepada guru, Vera sedang sakit. Tapi, mereka tak tahu Vera
sakit apa. Karena selama ini Vera kelihatan baik-baik saja. Kalau pun sakit,
paling cuma dua atau tiga hari saja. Itu pun hanya sakit ringan.
“Vera sakit apa yah…? Nggak biasanya dia
sakit sampai berhari-hari kayak sekarang.” Ujar Citra.
“Iya nich. Padahal semester bakal
dilaksanakan minggu depan.” Tambah Dhea.
“Gimana kalau kita ngejenguk Vera aja.
Udah lama juga kita nggak kumpul-kumpul bareng.” Usul Nia.
“Iya nih. Aku juga kangen ama kata-kata
puitis anak itu.” Ujar Karin sambil nyengir.
“So, kita go-nya kapan…” Tanya Dhea.
“Ntar aja. Pas pulang sekolah. Hari ini
kan hari sabtu, jadi kita pulangnya cepet.” Nia kembali memberi usul.
“Ya deh.” Semuanya setuju.
Sepulang sekolah, mereka semua kemudian ke
rumah Vera. Berharap bisa bercanda ria kembali dengan sahabat mereka.
“Assalamu alaikum…” seru mereka serempak
ketika sampai di depan rumah Vera. Namun, tak ada jawaban. Mereka kemudian
kembali memberi salam. Dan tak berapa kemudian, Mama Vera datang sambil menyeka
air mata yang berlinang di pipinya.
“Wa’alaikum salam…” jawabnya dengan
terbata.
“Ada apa tante…? Tante kok nangis…? Vera
di mana…?” Tanya Citra dengan perasaan khawaatir. Namun Mama Vera tak menjawab
dia hanya terus diam dalam tangisannya yang membuat Citra, Karin, dan Nia heran
campur khawatir.
“Tante tenang dulu yah. Kita ke sini cuma
mau ngejenguk Vera kok.” Nia mencoba menenangkannya.
“Kalau kalian mau ngejenguk Vera, dia ada
di kamarnya.” Ujar Mama Vera dengan terbata dan menuntun keempat gadis belia
tersebut ke kamar Vera. Namun, apa yang Citra, Karin, Nia, dan Dhea liat
sungguh membuat mereka kaget. Vera tengah terbaring tak berdaya di atas
kasurnya dengan selang infus yang ada di pergelangan tangannya.
“Vera kenapa tante…? Apa yang terjadi sama
dia…?” Tanya Citra yang tak sanggup menahan air matanya saat berdiri tepat di
hadapan sahabatnya.
“Sudah 5 hari Vera terbaring koma. Tapi,
dia tak mau di rawat di rumah sakit. Dia bersih keras mau di rawat di rumah.
Sebenarnya, selama ini Vera mengidap penyakit kanker otak. Tapi, dia selalu
melarang tante untuk memberitahukannya ke kalian. Dan dokter memvonisnya hanya
bisa bertahan sampai Desember tahun ini.” Jelas Mama Vera dengan air mata yang
bercucuran.
“Astagfirullah hal adzim…” desis mereka
berempat hampir bersamaan.
“Vera… kenapa kamu nggak pernah bilang ke
kita kalau kamu itu sakit. Kenapa Ver…? Kita kan sahabat…? Tapi, kenapa kamu
nyembunyiin hal ini dari kami…” ujar Karin sambil menangis dan menggenggam
tangan Vera.
“Vera…bangun…!!! Kamu harus kuat. Kita
selalu ada buat kamu. Kita semua sayang sama kamu Ver. Kita nggak mau
kehilangan kamu…” lanjut Nia. Setelah mendengar kata-kata Nia, tiba-tiba saja
jari tangan Vera bergerak dan Vera perlahan membuka matanya.
“Vera…kamu sadar nak.” Ujar Mamanya sambil
mendekat ke arah Vera.
“Ma..Mama…” ujar Vera dengan terbata dan
suara yang terdengar parau.
“Iya sayang… Mama di sini. Di sini juga
ada sahabat-sahabat kamu. Mereka mau ketemu sama kamu. Katanya kamu harus
kuat.” Mama Vera kembali tak dapat menahan air matanya.
“Guys…maafin aku
yah…” ujar Vera lagi.
“Ssssstt…kamu nggak perlu ngomomg apa-apa
Ver. Kita udah tahu. Sekarang kamu yang semangat yah.” Ucap Dhea dalam isak.
Vera yang tak mampu bersuara lagi, hanya bisa memaksa dirinya untuk tersenyum.
Tiba-tiba saja Vera berusaha mengangkat kepalanya dan mengambil sesuatu di
bawah bantalnya. Dan ternyata itu adalah sebuah surat. Vera kemudian
menyerahkan surat tersebut kepada Citra dengan tangan yang bergetar.
“Aku pengen kalian baca surat itu.” Ujar
Vera dengan terbata-bata.
“Iya Ver. Kita akan baca surat ini.” Jawab
Citra sambil meraih surat yang disodorkan Vera.
“Ma…temen-temen…aku mau tidur dulu yah.
Aku capek. Aku mau istirahat dulu. Kalian jaga diri baik-baik.” Ucap Vera lagi
sambil menutup kedua matanya. Mama dan temam-temannya hanya bisa mengangguk dan
menangis mendengar perkataan Vera. Perkataan terakhir yang keluar dari mulut
Vera. Karena beberapa saat setelah itu, Vera telah menghembuskan nafas terakhirnya
dan meninggalkan semua orang yang mengasihinya. Mama dan sahabat-sahabatnya
hanya bisa menangisi jasad Vera yang telah terbujur kaku. Tak lama setelah itu,
Citra pun membuka amplop surat yang diberikan oleh Vera dan membacanya bersama
semua.
Dear My Friend…
Guyz…
Maafin aku yah. Aku nggak bermaksud
menyembunyikan tentang penyakitku ke kalian. Aku cuma nggak mau kalian khawatir
dengan keadaanku. Aku juga nggak mau kalian mengasihani aku. Aku mau kalian
menganggap aku sebagai Vera yang sehat, kuat, dan ceria. Bukan Vera yang
sakit-sakitan.
Guyz…
Aku sayang banget ama kalian. Kalian
ibarat bumi bagi aku. Aku nggak akan bisa hidup tanpa kalian. Tawa dan canda
kalian selalu bisa membuat aku tersenyum dan semangat. Mungkin tanpa kalian aku
udah lama menyerah. Tapi aku selalu ingin hidup. Hidup untuk tetap bersama
kalian hingga Desember tahun ini.
Guyz…
Mungkin aku nggak bisa bertahan sampai
semester nanti. Tapi aku mau kalian tetap semangat. Walau tanpa aku, kalian
harus bisa dapat nilai yang maksimal. Dan kalian tahu, aku tuch seneng…
banget…! Karena pada penantianku tahun ini, kalian menemaniku menanti
Desember. Hari-hari yang kita lalui bersama beberapa waktu ini membuat
aku merasa hidup ini begitu indah dan berarti. Rasanya, aku masih ingin menikmati
hari-hari bersama kalian. Tapi, waktu aku nggak banyak. Dan aku harus pergi.
Pergi meninggalkan dunia fana ini. Membawa sejuta kenangan indah yang kita
miliki dan takkan pernah kulupa hingga kelak aku menutup mata.
Guyz…
Tiga tahun aku menanti Desember. Dan
Desember tahun ini aku benar-benar harus pergi. Maaf jika selama ini aku
terlalu banyak mempunyai kesalahan terhadap kalian. Terima kasih untuk semua
kenangan indah yang telah kalian berikan padaku. Makasih dan selamat tinggal.
Much Love
Vera
Setelah membaca surat tersebut, mereka
semua lag-lagi tak dapat membendung air matanya. Mereka terus menangisi
kepergian Vera.
Kini Vera telah tiada. Sang pujangga telah
pergi. Pergi dengan tenang menghadap sang khalik. Penantian Vera telah
berakhir. Desember telah menjemputnya tepat pada tanggal 3 Desember. Saat
usianya menginjak 17 tahun. Vera kini telah tenang di sisi-Nya. Kini dia telah
tersenyum dalam tidur panjangnya. Tak ada yang dapat mencegah kepergian Vera.
Bahkan, waktu pun tak dapat menghentikannya.
Rembulan…
Temani aku malam ini
Aku sedang menanti Desember
Rembulan…
Dalam keremangan malam
Aku ingin kau menyinari hatiku yang redup
Rembulan…
Jangan pernah tinggalkanku
Dan tetaplah menemaniku
Menanti Desember…
Mama Vera menemukan puisi itu di sela buku
diary Vera. Puisi yang setiap malam dilantunkan Vera semasa hidupnya. Kini Vera
telah tersenyum di samping rembulan. Rembulan yang senantiasa memenaninya
menanti Desember.
0 comments
Posting Komentar