PERMINTAAN
SEBUAH DIARY
Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan udara bercampur
debu. Daun-daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat sesosok gadis
kecil duduk termenung di kursi taman pusat kota. Terdengar teriakan seseorang dari
arah belakang gadis itu.
“Dilla…!” Teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Dilla itu
terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya.
“Dilla..!!” teriak orang itu lagi. Setelah dia melihat orang yang
memanggilnya itu, mukanya tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa geram
darinya.
“Dilla, kamu ke mana saja, Nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi. Kenapa
tiba-tiba kamu kabur?” Tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla sendiri.
Dilla tetap diam. Wajahnya tetap murung dengan sedikit tatapan sinis. Ayahnya
mencoba bicara lagi.
“Ayolah, Nak. Beritahu Ayah. Kamu mau apa?” Sang ayah terus membujuknya
untuk bicara. Perlahan wajah Dilla mulai kelihatan tenang. Dan ia pun mulai
bicara.
“Ayah nggak akan pernah tau apa yang kuinginkan, karena Ayah nggak pernah
perhatiin aku. Ayah nggak akan pernah mengerti dan sampai kapanpun Ayah tak
akan bisa mewujudkannya!” ucap Dilla. Ia mengatakan semua yang ada di
benaknya. Perasaan yang dulu ia pendam. Dan sekarang perasaan itu sudah
memuncak dan tak dapat dikendalikan lagi.
Ayah merengut dan tiba-tiba memarahi Dilla.
“Apa sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang kamu minta.
Pakaian, handphone, laptop, accessories dan barang-barang lainnya yang Ayah
rasa kamu tidak gunakan. Sekarang kamu mau apa? Ayah capek… capek… ngeladenin
kamu!”
Mendengar ucapan ayahnya, sakit hati Dilla semakin menjadi-jadi. Perlahan
air matanya keluar. Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
“Kalau Ayah memang tak mau ngurusin aku, mendingan Ayah buang saja aku. Biar
Ayah nggak capek lagi dan bisa senang-senang dengan kehidupan Ayah yang nggak
jelas itu!” Semuanya ia ungkapkan saat itu juga dan akhirnya ia lari pergi
meninggalkan Ayahnya.
“Dilla…!!” teriak ayahnya yang lari mengejarnya.
Larian panjangnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tak
layak huni. Langkah kakinya bagaikan tersedot rumah itu. Ia mencoba mengetuk
pintu rumah itu.Namun tak ada orang yang membukakannya. Ia terus mengetuk pintu
itu berkali-kali. Namun tetap tak ada jawaban.
Akhirnya ia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak dikunci. Ketika
ia melihat ke dalam rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat seorang wanita
tergeletak tak sadarkan diri dari balik dinding rumah itu.
“Bunda…Bunda…!!” teriaknya dengan air mata yang terus menetes.
“Bunda..!Bangun Bunda..! Bangun…” Dilla mencoba menyadarkan wanita yang
ternyata ibunya. Ibunya Dilla tetap tidak sadarkan diri. Dilla pun mulai putus
asa. Ingin rasanya ia membawa ibunya ke rumah sakit. Namun, ia tidak bisa
membawa ibunya sendirian. Dan walaupun ia lakukan itu, yang pasti ibunya akan
marah dengannya. Akhirnya, ia merawat ibunya di rumah itu, hingga ibunya
sembuh.
^_^
Sudah dua hari Dilla menginap di rumah itu. Namun ayahnya tak kunjung
menjemputnya. Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga ayahnya
tidak bisa menjemputnya. Yaitu, satu; karena ayahnya tidak tau rumah ini. Dua;
karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.
Di rumah kecil itu, Dilla lebih merasa ceria. Karena ia merasa tidak
kesepian. Di rumah itu, ia mempunyai teman ngobrol, mencurahkan isi hatinya,
berbagi suka dan duka, tertawa bersama dan hal-hal menarik lainnya. Ketimbang
di rumah besar yang sunyi, sepi, senyap, hanya bertemankan harta yang tidak
berguna.
Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla pun berpamitan dengan ibunya. Ia takut
ayahnya akan marah besar kalau ia tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa dengan
perceraian kedua orang tuanya yang berakibat buruk terhadap masa depannya.
Sesampainya di rumah, Dilla langsung masuk ke kamarnya, menguncinya, dan seperti
biasa, ia mencurahkan isi hatinya dalam buku harian.
Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju kamar Dilla untuk
memastikan anaknya itu sudah pulang atau tidak.
Ketika pintu kamar Dilla dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung
menyembunyikan buku hariannya.
“Dilla.. Kamu sudah pulang, Nak. Kamu ke mana aja kemarin? Kenapa nggak
bilang sama Ayah?” sang Ayah mencoba menginterrogasi Dilla.
“Nginep rumah teman, Yah.” Jawab Dilla singkat.
“Kenapa kamu nginep rumah teman? Emangnya kamu nggak punya rumah?” Tanya
ayah dengan nada pelan.
“Ayah! Aku kesepian di rumah ini. Aku tidak merasa bahagia dengan semua
harta yang Ayah berikan. Aku cuma minta perhatian dan kasih sayang kedua orang
tuaku. Dan kalian selaluu ada di sampingku. Tapi Ayah tidak pernah mengerti apa
maksudku!” bentak Dilla. Emosinya memuncak drastis.
“Terus apa maumu?! Bagaimana Ayah bisa tahu, kalau kamu nggak ngasih
tahu Ayah!!” bentak ayah dengan nada tinggi.
Ucapan ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang luar biasa. Sekarang
bukan hatinya saja yang sakit, seluruh tubuhnya juga ikut sakit. Dilla merintih
kesakitan dan akhirnya pingsan.
Melihat sang anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla ke rumah sakit.
Dan langsung ditangani oleh dokter terhandal.
Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajahnya yang kelihatan pucat. Ayah
Dilla pun menghampirinya.
“Penyakitnya kambuh lagi.” Ucap dokter itu.
“Penyakit??” Tanya Ayah Dilla heran.
“Penyakit leukimianya sudah stadium empat!” Lanjut dokter.
Seketika itu pun ayah Dilla terkejut.
Penyakit leukemia? Stadium empat? Batinnya.
“Maaf, Dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap penyakit leukemia.
Apalagi sampai stadium empat. Saya tidak mengerti maksud Anda!” Ucap Ayah
Dilla.
“Bapak jangan bercanda. Dilla itu pasien lama saya. Sudah 2 tahun ia saya
tangani. Kok Bapak sampai tidak tau masalah ini?” Jelas dokter dengan wajah
bingung.
Ayah Dilla semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan dokter
tersebut.
Sudah 2 tahun? Tapi mengapa Dilla tidak pernah mengatakannya? Batinnya
lagi.
“Dok, boleh saya masuk ke dalam? Saya mau jenguk anak saya!” Pinta ayah
Dilla sambil mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak semata wayangnya itu
dirawat.
Di dalam kamar itu, ia melihat seorang gadis kecil mempertaruhkan nyawanya
melawan sakit yang menderanya. Dimanakah sosok seorang ayah yang dia punya?
Mengapa ia tak tau apa yang terjadi dengan anaknya? Apakah batin seorang ayah
dengan anaknya tidak terikat? Ditengah lamunannya, ia dibuyarkan oleh secercah
suara kecil. Ya, suara Dilla.
“Ayah..” ucapnya lemah.
“Iya, Nak.” Ujar ayahnya sambil meneteskan air mata.
“Ayah.. Aku mau minta sesuatu dari ayah. Aku mau…” Ucapan Dilla semakin
lemah. Denyut nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan pada saat
itu, detik itu, Dilla menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan
keinginannya itu.
Tangisan langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir hayat
anaknya, ia tidak dapat mengabulkan permintaan anaknya itu.
Dan sekarang ia tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang
anaknya inginkan. Dan ia tidak tau bagaimana mewujudkannya.
^_^
Dua hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saja berdiam diri di
rumah. Ia sekarang sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah uang
tetapi keluarga. Ia pun mencoba mengenang Dilla dengan masuk ke dalam kamar
Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu. Ketika ia sedang membereskan tempat
tidur, tak sengaja ia menemukan sebuah diary di bawah bantal. Ia pun kemudian
membuka diary itu, dan membacanya.
Deardiary…
Aku tak tau apa yang sedang ku alami
Semuanya berubah begitu saja.Perceraian Ayah dan Bunda telah
membuatku
larut dalam kegelapan
Aku tak bisa melihat masa depanku nanti.
Sekarang aku mencoba menahan penyakit leukemiaku. Aku tidak ingin
mereka
mengetahuinya. Aku tidak ingin kedua orang tuaku saling menyalahkan.
Cukup aku yang merasakan sakit ini.
Deardiary…
Ya Allah…
Kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku?
Kenapa Kau memberikan sakit ke Bundaku?
Kenapa Kau buat Ayah melupakanku?
Kenapa aku tidak pernah bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi menahan
cobaan ini.
Ya Allah..
Yang hambaMu inginkan cuma satu. Tolong persatukan keluarga kami lagi.
Tolong satukan Ayah dan Bunda agar Ayah bisa merawat Bunda.
Karena mungkin hamba tidak bisa merawat Bunda lagi.
Karena mungkin Kau akan memanggil hamba.
Jadi hamba mohon, persatukan keluarga hamba.
Ayah… yang Dilla minta selama ini adalah itu.
Dilla minta Ayah menjemput ibu di rumah kecil di bawah jembatan tua.
Dan Dilla ingin Ayah menjaga dan merawat Bunda untuk selamanya. Hingga
akhir hayat.
Amiiinn… Ya Rabbal A’lamin.
Tetesan air mata berjatuhan. Isak tangis meluap. Sekarang.. saat itu juga
ayah Dilla pergi menjemput mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla.
Di rumah kecil itu, ia melihat mantan istrinya duduk termenung. Ia pun
mendekatinya dan perlahan mengatakan tentang kepergian Dilla.
Mendengar berita itu, sang ibu langsung menangis. Ia tak dapat menerima
semua itu. Namun, ia pun tidak bisa mengelak takdir illahi. Sesuai keinginan
Dilla, kedua orangtuanya pun bersatu kembali.
1 comment
kobe byrant shoes
supreme outlet
supreme shirt
nike shoes
supreme clothing
supreme sweatshirt
hermes belts
michael kors handbags
nike lebron shoes
jordan retro
xiaofang20191213
Posting Komentar